“Ya boleh,”. Jawab istriku sambil beberapa kali mengambil foto sisi luar Masjidil Haram.
Bahagia sekali waktu itu, karena baru kali ini bisa berkunjung ke tanah suci Mekah Al Mukarromah. Prosesi ibadah Umrah sudah selesai hanya dalam waktu sebentar saja. Saat Masuk ke Masjidil Haram kami bersama rombongan dipimpin Muthawif (orang yang sedang berthowaf atau berkeliling Ka'bah. Namun, saat ini muthawif diistilahkan menjadi sebutan kepada orang yang menjadi pemandu atau pembimbing ibadah haji mau pun umroh.) dari mulai Towaf, Sa’i, hingga tahalul. Namun karena sesaknya jemaah, selesai tahallul kami terpisah dari rombongan.
Suasana di dalam Masjidil Haram, terutama di bukit Marwah begitu penuh sesak, orang orang yang sedang sa’i dan orang orang yang berhenti untuk tahalul bertemu di bukit ini. Akibatnya banyak dari kami yang terpisah, alat komunikasi radio maupun Handphone tidak cukup menolong kami untuk bertemu kepala rombongan ataupun sesama satu rombongan.
“Gimana mah sudah pada datang teman-teman kita?” tanyaku pada isteriku, saat kami tiba di luar Masjid.
“Sudah pah, tapi cuma sebagian, mereka pada nanyain ketua rombongan, kebanyakan ibu-ibu sepuh ”. Kata isteriku sambil mengambil beberapa gambar menggunakan kamera HP.
“Oh, kita tunggu saja sebentar lagi, mudah-mudahan ketemu ketua rombongan, tapi bentar ayah coba ngeWA dulu ke Ketua rombongan”. Jawabku sambil mengetik dan mengirim WA ke ketua rombongan.
Tak lama kemudian ada jawaban dari ketua rombongan bahwa sebagian besar jemaah sudah sampai ke hotel tempat kami menginap, mereka sedang menunggu kedatangan kami yang berjumlah 14 orang.
Akupun langsung memberitahukan kepada jemaah yang tersisa bahwa ketua rombongan sudah sampai ke hotel. Kemudian Aku ajak mereka untuk berjalan menuju hotel. Sesampainya di garis terluar pelataran masjidil Haram tibalah kami pada jalan keluar yang dihalangi oleh tiang-tiang besi yang di ujungnya terdapat lampu berwarna hijau. Tanpa pikir panjang aku yang saat itu berada di barisan paling depan menuju arah jalan ke;luar tersebut.
“Yah... kok jalan keluarnya beda ya, ngak kaya gerbang yang tadi kita masuki bareng pak Ustadz?, ” tanya isteriku sambil melihat-lihat ke sekitar.
“Ini betul gerbang keluarnya mah, tuh lihat ada tiang-tiangnya.” Kataku, namun dalam hatiku berkata bahwa gerbang ini agak beda, tak jauh dari setelah kami melewati gerbang tersebut jalan yang begitu lebar terhalang sebagian oleh pembangunan jalan, beberapa mobil berukuran besar sedang beroperasi di sana.
Namun aku mencoba menenangkan diri, “mungkin tadi saat masuk bersama ketua rombongan, jalan ini masih lowong dan belum datang mobil-mobil yang bertugas memperbaiki jalan”, gumanku.
Jalanan saat itu terlihat kurang bersahabat, suara sirine mobil proyek begitu bising di telinga ditambah lampu-lampu menyorot ke arah jalan begitu menyilaukan mata.
Jalanan yang begitu lebar hanya tersisa seperempatnya untuk bisa dilalui pejalan kaki sehingga kami harus berjalan agak ke pinggir. Keadaan tersebut membuat kita sering berpapasan dengan orang-orang dari arah sebaliknya. Kebanyakan dari mereka adalah jemaah yang akan pergi menuju Masjidil Haram, terlihat dari pakaian yang mereka kenakan. Umumnya para jemaah menggunakan pakaian muslim lengkap dengan beberapa tanda yang dipakai agak mencolok untuk mudah diidentifikasi oleh sesama rombongannya. Ada yang menggunakan tas atau syal yang seragam.
Beberapa kali aku menoleh ke belakang, aku lihat keduabelas orang yang berada di belakangku terlihat ceria sambil berfoto-foto.
Sepanjang jalan yang kami lalui, kami melewati beberapa tempat yang sama sekali belum pernah kami lewati sebelumnya, hal ini menambah keraguanku kalau jalan yang aku dan jemaah lainn lalui salah. Istriku yang dari tadi berada di sebelahku terus berbicara bahwa ini jalannya sudah jauh berbeda dengan jalan yang pernah dilalui sebelumnya.
“Tenang Mah, kita tak mungkin tersesat, kita kan bawa hape, kita liat aja di Google Map, kita cari jalan menuju hotel tempat kita menginap.” Kataku, kemudian aku buka Google map, dan mulai mencari Hotel tempat kami menginap, untunglah kami membawa tanda pengenal (Id Card / Name Tag) yang digantung di leher setiap jemaah, di Name Tag terdapat nama hotel, nomor kamar, dan nomor telepon hotel tempat kami menginap. Segera aku mengetikkan nama hotel tempat kami menginap yang bernama “Al Shohada Hotel”.
Betapa terkejutnya aku melihat peta di Google, ternyata posisi kami sudah terlalu jauh dari Al Shohada Hotel. Semakin kami mengikuti jalan yang kami lalui maka semakin jauhlah posisi kami dari Al Shohada Hotel. Akupun mencoba mencari jalan pintas yang menghubungkan jalan yang sedang kami lalui dengan jalan yang melintas di depan Al Shohada Hotel, namun sebelum aku temukan jalan pintas tiba-tiba layar hapeku menjadi gelap, hapeku mati karena batereinya habis. Aku semakin bingung, bagaimana caranya kembali ke hotel sedangkan waktu itu satu satunya hape yang bisa membuka google map hanyalah hape milikku. Kucoba mengatakan kepada jemaah tentang hal yang sebenarnya terjadi.
“Ibu-ibu sekalian ternyata jalan yang kita lalui saat ini adalah jalan yang berbeda dengan jalan yang menuju hotel, dan posisi kita saat ini sangat jauh dari hotel, bagaimana menurut ibu-ibu?”
“Gak apa-apa, kita coba telepon ke temen-temen lain di hotel. Sambil kita hubungi ke hotel kita juga coba bertanya ke penduduk sekitar jalan menuju Al Shohada Hotel”. demikian kata salah satu jamaah.
“Oh begitu baiklah. Mari kita lanjutkan perjalanan” Kataku, namun tiba-tiba seseorang ada yang minta jangan meneruskan perjalanan.
“Nanti dulu pak, ini anak saya sepertinya sudah kecapaian, ada baiknya kita istirahat dulu.”
Aku lihat ibu tersebut sedang menuntun anaknya yang keliatan jalannya agak pincang. “oh, baiklah kita istirahat dulu jalan” kataku, kemudian kami istirahat sejenak di emperan jalan.
Jam waktu itu sudah menunjukkan pukul 1 waktu Mekah, jalanan yang kami lalui masih ramai oleh orang-orang yang berjalan kaki ke arah Masjidil Haram, beberapa pedagangpun masih terlihat menjajakan dagangannya kepada setiap orang yang lewat. Yang aneh, mereka menjajakan dengan beragam bahasa, yang aku hafal waktu itu para pedagang Arab menjajakan dagannya dengan bahasa Arab, Inggris, dan Bahasa Indonesia. Saat rombongan kami melintas beberapa mereka menjajakan dengan bahasa Indonesia.
“Ayo... ayo... beli... beli... murah, murah. Real boleh.. rupiah boleh”. Begitulah kira-kira diantara pedagang yang menawarkan dagangannya kepada kami.
Setelah istirahat sejenak aku bertanya kepada jemaah, apakah istirahatnya susah cukup atau belum.
“Ibu-ibu, gimana istirahatnya sudah cukup?
Ibu yang mengatakan anaknya kecapaian menjawab : “sudah pak, mari kita lanjutkan perjalanan”
"Bu Dewi... gimana sudah ditelepon ke hotel?” Kataku.
“Sudah ditelepon pak, katanya naik taksi saja” Kata Bu Dewi
“Oh ya. Sambil jalan mari kita cari taksi."
Perjalanan terus dilanjutkan, Jalanan yang kami lalui semakin lama semakin mengecil, lebarnya dira-kira 6 meteran. Jalanan yang kami lalui hampir mirip jalan-jalan di pinggiran kota di Indonesia yang penuh dengan pertokoan kecil dan pedagang yang tumpah di kanan kiri jalan. Aku perhatikan ini seperti kampung arab yang jauh dari hiruk pikuk kota, sedikit kurang tertata tidak seperti jalan-jalan yang ada di sekitar hotel Kota Mekkah tempat kami menginap. Orang-orang yang berpakaian umrahpun sudah tak terlihat.
Lampu-lampu jalanan terasa redup, orang-orang yang berlalu lalang di sana terlihat seperti orang-orang yang hidup di jalanan, kumal, agak dekil. Tatapan mereka terlihat sedikit menakutkan, tidak seperti para pedagang yanag ada di sekitar Masjidil harom yang ramah-ramah dan bisa berbahasa Indonesia. Orang orang di jalanan ini tidak tahu bahasa Indonesia bahkan ketika kami menanyakan arah jalan menuju hotel tempat tempat menginappun mereka terdiam, sebagian geleng-geleng kepala sebagian menatap dengan tajam.
Setelah sekian jauh kami melangkah, tibalah kami di sebuah perempatan jalan, kami berhenti di belokan sebelah kiri tepat di depan emper sebuah tempat cukur rambut. Perempatan ini jalanannya sangat lebar-lebar, masih ramai dengan lalu-lalang kendaraan yang lewat. Beberapa taksi menghampiri kami menawarkan jasa antar. Namun semua taksi tersebut kami tolak, taksi kami tolak karena ada rekan kami yang sedang menelepon ke ketua rombongan kami dan mengatakan untuk diam di tempat untuk dijemput.
Saat kami istirahat, tanpa sadar ternyata ada seorang bapak-bapak yang dari tadi memperhatikan kami, ia berada di belakang kami.
“Asaalamualaikum, dari Indonesia ya. Saya juga dari Indonesia, sepertinya bapak dan ibu-ibu tersesat ya?” Tanyanya sambil tersenyum.
“Wa’alaikum salam, Iya pak kami tersesat, kami dari masjidil harom, tapi ketika akan pulang ke hotel , kami salah jalan.” Kataku sambil menoleh ke bapak tersebut.
“Kalau jalan terdekat, ya kembali ke arah tadi bapak datang, tapi bila ngak mau cape bisa lewat jalan yang lain naik taksi, tapi ongkosnya pasti mahal dan jauh” kata bapak itu.
“Oh ya pak, ini kami sedang menunggu jawaban dari pimpinan rombongan kami, bagaimana baiknya.” Kataku.
Lalu salah satu dari anggota ibu-ibu yang menelepon ke hotel bilang kalo kita dijemput kemungkinan tidak akan kebagian shalat tahajud dan shalat Subuh di Masjidil haram, jadi solusinya kembali ke jalan semula yang kami lalui.
“Ini kata pak Mahfud, katanya balik lagi aja ke masjidil haram lewat jalan tadi, nanti kita ketemu rombongan lainnya di halaman masjidil haram, karena kalo dijemput bisa ngk kebagian shalat subuh” Demikian ucap Ibu tadi.
Para jemaah mengetahui bahwa shalat di masjidil haram itu pahalanya sama dengan 100 ribu kali shalat di mesjid lain, dan kami tidak mau kehilangan itu. Oleh karena itu semua sepakat untuk kembali ke masjidil haram melalui jalan yang kami lalui tadi.
Setelah istirahat itu, kemudian kami lanjutkan perjalan dengan kembali ke Masjidil Haram melalui jalanan yang sempat kami lewati tadi. Anehnya semua jemaah seperti mendapat tenaga baru, mereka semangat untuk meneruskan perjalanan. Rasa takut yang pernah melanda fikiran kami tiba-tiba hilang, ini terlihat saat kami melewati beberapa jalanan yang terlihat kurang bersahabat, wajah kami ceria. Beberapa orang dengan tampang menakutkan tak kami pedulikan, yang ada dalam fikiran kami adalah bagaimana caranya bisa sampai ke Masjidil Haram secepatnya agar tidak ketinggalan shalat Subuh berjamaah.
Perlu diketahui bahwa rata-rata ibu-ibu ini umurnya sudah di atas setengah abad, namun mereka terlihat kuat padahal jalan yang kami lewati sangat jauh. Isteriku yang di Indonesia mudah lelah dan tidak kuat jalan jauh, malam itu tidak terlihat lelah, letih, ataupun capek, Alhamdulillah.
Akhirnya kami kembali ke Masjidil haram, waktu di sana menunjukkan kira-kira pukul 3 pagi waktu Mekah. Waktu shalat subuh di Kota Mekah Mundur 18 menit dibanding waktu di Indonesia Bagian Barat. Saat itu di Kota mekah waktu shalat pada hari senin 27 November 2017 jatuh pada pukul 05.19 (waktu shalat subuh di Kota Bandung, Indonesia pukul 04.01). Dengan demikian masih banyak waktu untuk kami menuju shalat subuh, dan bisa menunaikan shalat tahajud berjamaah bersama yang lain.
Salah satu ibu-ibu mengatakan, kalu kita jangan jauh jauh dari gerbang 3 yang menuju Pintu “King Abdul Aziz”. Lalu kamipun bersitirahat, ada yang duduk-duduk, selonjoran dan lain-lain. Saat istirahat itu tiba-tiba melintas sesorang jamaah Masjid dengan pakaian puti-putih tersenyum padaku sampil menghampiri. Saat mendekat, aku lihat wajahnya (Maaf) mirip orang yang terkena penyakit, matanya sipit dan pipinya terlihat gemuk. Kemudian sambil berdiri ia berkata-kata sangat keras namun tidak jelas, entah aku yang tidak mengerti bahasa dia atau... entahlah. Tangannya beberapa kali sepeti akan menampar wajahku, namun tak sedikitpun aku beraksi untuk menghindar. Lama kelamaan aku coba mengulurkan tangan tanganku ke padanya, mengajaknya bersalaman. Alhamdulillah, sambil tersenyum lebar diapun menyambut uluran tanganku dan menggemgamnya dengan kuat. Setelah itu orang tersebut meninggalkanku.
Setelah menunggu beberapa lama akhirnya datanglah Muthawif, Ustadz . Beliau adalah orang Indonesia asal Pulau Madura, Jawa timur. Akupun bergegas menghampiri.
“Asaalamualaikum Tad?”, kataku sambil mengulurkan tangan.
“Wa ‘alaikum salam, sehat semua jamaahnya? Kalu sudah kumpul mari kita bergabung dengan rombongan yang lainnya”. Kata Ustadz Mahfud
“Alhamdulillah sehat pak Ustadz, cuma beberapa jemaah ada yang sedikit kelelahan”. Kataku.
Kemudian kami bergabung bersama anggota rombongan lainnya, kamipun masuk lewat pintu King Abdul Aziz. Pintu ini salah satu pintu yang terdekat dan langsung menuju Ka’bah. Alhamdulillah situasi di dalam masjid belum begitu ramai sehingga kami bisa lebih dekat ke Ka’bah. Kemudian kami melakukan shalat Tahajud berjamaah. Adzan Subuhpun berkumandang, suasana Masjidil haram yang asalnya ramai oleh orang orang yang melantunkan kalimat Talbiyah “Labbaika allahumma labbaik, Laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan-ni'mata laka wal mulk, laa syariikalak” tiba-tiba hening, tak terdengan suara lain kacuali suara Adzan yang terdengan merdu. Shalat subuh dimulai setengan jam setelah Adzan Subuh berkumandang, Alhamdulillah akhirnya kami dapat ikut shalat subuh berjamaah di Masjidil Haram dengan imamnya Abdurrahman As-Sudais atau lebih dikenal dengan nama Syekh Sudais. Itulah Shalat subuh pertama kami saat tiba di Kota suci Mekkah Al Mukarromah, kota yang dimuliakan oleh Allah SWT.
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini adalah, janganlah kita bersikap sombong kepada Allah, terutama saat di tanah Suci Mekkah. Karena boleh jadi Allah memberikan teguran langsung kepada kita saat di sana, namun itu pula berlaku bukan saja di Mekkah, di manapun berada kita harus tetap bersikap Tawadhu (rendah hati).
Cerpen : Tersesat Di Tanah Haram
“Alhamdulillah kita sudah selesai melaksanakan Umrah, yuk kita foto-foto dulu sambil menunggu yang lain datang”. Ucapku kepada istri setelah berada di luar Masjidil Haram.
Post a Comment for "Cerpen : Tersesat Di Tanah Haram"
silahkan berkomentar dengan bijak, terimakasih atas kunjungannya